Setidaknya dalam satu setengah
dasawarsa terakhir, Pondok Pesantren Sidogiri telah menunjukkan
keseriusan dalam menggalakkan kreativitas tulis-menulis para santrinya.
Dan, kini Pondok Pesantren Sidogiri telah dikenal sebagai pesantren yang
benar-benar concern di bidang pemikiran dan kepenulisan. Ada
sejumlah buku karya santri-santri Sidogiri yang menasional, dibicarakan
dan dijadikan rujukan oleh banyak kalangan. Meski belum seberapa, tapi
bagaimanapun ini adalah suatu capaian yang wajib disyukuri.
Setidaknya sejak tujuh belas tahun silam, tepatnya pada tahun 1419 H, melalui jurnal Maktabatuna
yang diterbitkan oleh Perpustakaan Sidogiri, Mas d. Nawawy Sadoellah
menuangkan abstraksi pemikiran beliau dalam suatu tulisan bertajuk “Ah, Santri”.
Inti dari tulisan itu, setidaknya dalam pembacaan penulis, ialah
motivasi kepada para santri untuk berbuat, dengan memunculkan wacana dan
pemikiran yang dituangkan melalui tulisan.
Salah satu alasan kenapa kaum santri
tak pernah disebut-sebut dalam setiap perubahan besar yang terjadi
silih-berganti, termasuk di Nusantara ini, ialah karena mereka ‘tidak
berbuat’ (sesuatu yang dianggap revolusioner). Maka karena itu, Mas Dwy
memotivasi para santri untuk segera berbuat, bahkan dengan membikin
revolusi sekalipun, tentu bukan dengan bedil dan meriam, tapi dengan
pena: revolusi wacana dan pemikiran.
Tampaknya, tulisan itu selanjutnya
benar-benar menggugah para santri untuk menulis. Perlahan, beberapa
majalah bermunculan di Pondok Pesantren Sidogiri, mulai dari majalah
yang terbit perpekan, perbulan, persemester, hingga pertahun. Semakin
banyak majalah semakin banyak penulis. Tradisi tulis-menulis pun kian
membumi dan semakin bergairah.
Pada gilirannya, muncul sejumlah
penulis yang mengembangkan kreativitas tulis-menulisnya tidak sebatas
sebagai artikel lepas, tapi sudah fokus pada tema-tema tertentu yang
kemudian dituangkan dalam bentuk buku. Itulah sebabnya mengapa kemudian
sejak delapan tahun lalu, tepatnya pada tahun 1428, Sidogiri mendirikan
lembaga penerbitan Pustaka Sidogiri. Hingga kini, Pustaka Sidogiri telah
menerbitkan lebih dari seratus judul buku, baik yang berbahasa Arab
maupun yang berbahasa Indonesia.
Namun harus diakui, bahwa ini semua
baru sebatas langkah awal untuk bisa bersaing di pentas Nasional.
Bagaimanapun, semua ini masih belum ada apa-apanya dibandingkan dengan
penerbit-penerbit besar di Indonesia yang sudah besar, dengan ciri khas
dan ideologi mereka masing-masing, baik Wahabi, Syiah, liberal, dan
lain-lain.
Jika kita masuk ke toko-toko buku
besar, misalnya, kita belum melihat karya-karya santri bisa mewarnai
belantara pemikiran yang dipajang pada ratusan rak-rak buku yang dijejer
di situ. Artinya, fakta ini haruslah menumbuhkan kesadaran para
pemangku pesantren dan kaum santri untuk terus melanjutkan dan mengasah
kemampuan tulis-menulis mereka agar bisa terlibat dalam persaingan dan
bahkan memenangkan persaingan itu.
Dalam perang pemikiran, jika kita
berhenti berusaha untuk bisa memenangkan persaingan, maka bahaya
terbesarnya adalah corak Islam yang akan mendominasi adalah aliran yang
lebih serius dalam melakukan manuver. Artinya, jika selama ini Wahabi
atau Syiah yang rutin membanjiri toko-toko buku dengan karya-karya khas
mereka, maka lama kelamaan, disadari atau tidak, Islam corak Wahabi atau
Syiah itulah yang akan lebih banyak dipahami oleh masyarakat pada
umumnya.
-
Blogger Comment
-
Facebook Comment
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 komentar :
Posting Komentar